Monday, September 22, 2008

SAYEMBARA NASKAH DRAMA FTI

Federasi Teater Indonesia (FTI) tahun 2008 ini akan menyelenggarakan Sayembara Penulisan Naskah Drama Nasional yang terbuka tidak hanya bagi pekerja teater atau para penulis naskah dan pengarang, tapi bagi siapa saja yang memiliki minat untuk menulis naskah drama. Tidak peduli ia aktifis atau pekerja dari kesenian lain atau mungkin bidang atau profesi yang tidak berhubungan sama sekali dengan kesenian (teater).

Sayembara ini juga terbuka lebar bagi warga Indonesia yang berdomisili di luar negeri, tak ada batasan usia, bahkan juga dibebaskan dalam tema, jumlah halaman, termasuk bentuk ungkapannya. Peserta hanya diharapkan menghindari pelecehan SARA dan mengunakan bahasa Indonesia

"Naskah memiliki potensi -yang penting dalam perkembangan seni teater modern. Inovasi atau pembaharuan data teater dapat bermula dari sini. Kami mengharapkan muncul naskah-naskah baik yang tidak hanya mengangkat seni teater di Indonesia tapi juga kian mendekatnya pada publik penontonnya sendiri "kata Radar Panca Dahana Pembina FTI tentang latar sayembara ini.

Ketentuan:

1. usia bebas, domisili bebas, jumlah halaman bebas, tema bebas, berbahasa indonesia,tidak SARA, original,

2. kirimkan karya anda dalam file digital (soft copy), 4 buah dalam bentuk hard copy, poto copy KTP/identitas lainnya, biodata dan surat pernyataan original, belum pernah diterbitkan dan tidak sedang diikutsertakan dalam lomba (bermaterai rp 6000)

3. kirimkan ke alamat :

jln kebagusan dalam no 59,jagakarsa, jakartaselatan12520. email: ftindonesia@ yahoo.com.telp 021-98275912

4. batas waktu pengiriman 5 desember 2008 (cap pos)

5. Tersedia hadiah total Rp. 30 juta rupiah untuk katagori pemenang utama dan 5 terbaik. Para pemenang akan diundang khusus pada malam Refleksi FTI dan Anugerah FTI 2008, 27 Desember 2008, di Taman Ismail Marzuki.

Contact Person:

Olive
Koordinator SPNDN
HP no. 085280383999

Monday, September 8, 2008

Dari Hitam Afrika Hingga ke Rumah Pasir

Dari Hitam Afrika Hingga ke Rumah Pasir
Terceritalah, dalam forum Majelis Sastra Asia Tenggara beberapa tahun silam, salah satu peserta mengajukan sebuah buku sebagai bahan diskusi. Buku sederhana tersebut diberi judul Wanita Yang Kencing di Semak. Dalam pengantar buku tersebut, penyairnya bercerita tentang bagaimana ia mulai berkenalan dan menulis puisi. Nama penyair tersebut HU. Mardiluhung. ia mengaku mendapatkan gairah menulis pertamanya melalui energi yang terpancar dalam buku O, Amuk, Kapak karya Sutardji. memang senyampang lalu pesona kekuatan mistik terasa benar dalam buku Wnita Yang Kencing di Semak, sebagaimana gairah spiritual Sutardji.
Tahun berlalu dan Mardiluhung pada suatu ketika berkenalan dengan sekelompok anak muda yang baru memulai menulis sajak. Anak-anak muda ini bergabung dalam sebuah komunitas bernama Rabo Sore. Pertemuan mereka berlanjut dalam berbagai diskusi warung kopi dan sajak-sajak Mardiluhung sementara itu mulai sering muncul di media bergengsi terbitan Jakarta. memang kita masih merakan gairah Sutardji dalam sajaknya. Namun ada juga hal lain yang terus tumbuh dalam sajaknya; style. Sajak-sajak Mardiluhung mencuri perhatian bukan karena ia memunculkan gairah magis, namun juga karena ketrampilan linguistik yang kurang ajar dan misterius. Permainan kata dan struktur kalimat yang menampilkan bunyi-bunyian asing itu diracik dengan gaya bahasa yang sama-sekali lain dari penyair lainnya. Dan ada yang bilang sajak-sajaknya bagaikan sebuah laut. Ya, laut yang maha luas, laut yang menyatukan pulau-pulau, menjahit benua-benua, merapatkan tanah kita dengan misteri tanah hitam Afrika, misteri yang selalu resah. Memang, Mardiluhung mengaku ia banyak menyerap permainan gaya bahasanya dari Okot p’ Bitek, mantan pesepak bola yang lantas menjadi penyair Uganda.
Buku Okot p’ Bitek Afrika yang Resah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh YOI, sekitar tahun 70-an. Buku ini berisi dua bagian besar, yaitu Nyanyian Lawino dan Nyanyian Ocol yang merupakan sikap kritik terhadap modernisme dan pertikaian politik di Uganda. Memanglah keadaan politik dan arus perubahan sosial sebuah bangsa adalah hal yang banyak menggugah kesadaran kritik penulis. Maka kita pun mengenal banyak penulis Indonesia yang juga menjadikan peristiwa politik dan sosial sebagai gagasan karya kreatifnya. di Indonesia barangkali hal tersebut bgitu terasa terutama sekali sampai akhir dasawarsa 70-an. dalam masa itu banyak monumen dihasilkan oleh penulis kita. Namun saya kira tidak semua penulis bisa menyerap peristiwa politik dan sosial sebagai sebuah bahan karya sastra, apalagi bila tuntutannya adalah sebuah karya bermutu. Nyanyian Lawino dan Nyanyian Ocol bisa saja dibaca dan dijadikan inspirasi oleh penulis lain, namun tanpa kesadaran untuk tetap tunduk pada kaidah-kaidah satra, hanya akan menjadi sebuah jargon yang jauh dari harapan sebuah karya sastra yang bermutu.
***
Pada penghujung abad 20, Jawa Timur diramaikan oleh sebuah gerakan sastra yang turunan dari gerakan tersebut masih dapat kita rasakan hingga hari ini. Gerakan ini mengusung mahdzab kegelapan, yang oleh Nirwan Dewanto dalam pengantar buku puisi Lima Pusaran, FSS 2007 diistilahkan dengan “kocokan maut kata-kata”. Gerakan ini lantas melahirkan beberapa penyair Jawa Timur ke pentas perpuisian nasional seperti W. Haryanto, Indra Tjahyadi, dan Mashuri. Yang disebut terakhir juga membawa semangat religius dan masih terbilang aktif mengisi lembar-lembar sastra di media terhormat terbitan Jakarta. Bahkan pada 2007 lalu nama Mashuri kian bergaung di dunia kepenulisan kita dengan memenangi lomba penulisan novel Dewan Kesenian Jakarta. Sementara itu W. Haryanto beberapa tahun lalu, ketika itu memegang komite Sastra Dewan Kesenian Jawa Timur, telah menerbitkan sebuah kumpulan puisi dari sembilan penyair Jawa Timur, berjudul Kepada Mereka Yang Mengaku Dekat Dengan Tuhan – Antologi Penyair Mutakhir Jawa Timur.
Peluncuran buku Penyair Mutakhir Jawa Timur yang disertai dengan diskusi kreatif ini mengundang banyak perhatian masyarakat sastra Jawa Timur, terbukti dengan banyaknya peserta diskusi peluncuran buku tersebut. Namun kehadiran buku tersebut juga memunculkan celah kritik dari banyak kalangan. Maka baik secara terbuka ataupun melalui dunia maya, buku ini memantik diskusi yang barangkali menarik, barangkali juga menjemukan. Menarik karena memang upaya dari W. Haryanto untuk mempertarungkan selera estetika sembilan penyair Jawa Timur tersebut dengan salah satu kutub kesusastraan di Indonesia dan menjemukan karena pertikaian tersebut dapat saja bergeser ke arah yang kurang sehat dengan membawa-bawa politik kesenian di dalamnya.
***
Pada bulan Juni lalu Yayasan Seni Surabaya kembali menggelar event tahunan mereka, Festival Seni Surabaya. Dan tahun ini, di bidang sastra dengan Ribut Wijoto selaku Program Officer menerbitkan sebuah buku puisi dari lima orang penyair Jawa Timur yang telah terlebih dahulu diseleksi dan lantas dipilih oleh Arif. B. Prasetyo selaku kurator bidang sastra. Mereka antara lain, Denny, Indra Tjahyadi, F Aziz Manna, A Mutaqin, dan, ah, nama ini lagi, Mashuri. Buku tersebut diberi judul Rumah Pasir, diambil dari judul salah satu sajak yang ada dalam kumpulan tersebut. Tema yang diusung festival adalah 100 Tahun Kebangkitan Nasional, A Tribute To Surabaya. Dan dalam ulasan kuratorialnya, Arif menulis bahwa tema festival tersebut adalah salah satu bagian dari konstruksi kuratorialnya, yaitu Surabaya.
Denny, Indra, dan Mashuri menurut Arif adalah penyair yang membawa Mahdzab kegelapan sebagaimana dulu telah mereka mulai bersama dari sebuah komunitas kreatif di kampusnya. Sedangkan A Mutaqin dan Aziz dalam anggapan Arif adalah generasi baru yang seakan ingin mengkoreksi identitas/eksistensi kepenyairan Jawa Timur, meskipun faktanya, A Mutaqin menyangkanya dan lebih merasa bahwa ia ingin mengkoreksi dirinya sendiri. Dan ketika buku tersebut didiskusikan, tak kurang beberapa tokoh yang telah dikenal masyarakat sebagai simbol kepenulisan Jawa Timur hadir dan ikut terlibat dalam diskusi, termasuk D. Zawawi Imron. Penyair yang menggali spirit kehidupan melalui pohon, buah, dan daun-daun siwalan tersebut terlihat berbahagia. Dia bilang, kehadiran lima penyair Jawa timur dalam FSS kali ini adalah sebuah tanda bahwa ada proses regenerasi penyair di Jawa Timur. Meskipun begitu, Arif mengatakan bahwa gaya simbolik yang digarap A Mutaqin telah malampaui capaian D. Zawawi Imron dan soal kota, dari kelima penyair tersebut hanya F Aziz Manna yang secara tegas berbicara mengenainya.
Penyair lain mungkin juga pernah berbicara tentang kota dengan berbagai sudut pandang dan gaya, kita ingat misalnya, “di kota itu kata orang gerimis telah jadi logam....” atau “kota-kota penuh obat dan api” dll. F Aziz Manna beda. Ia lebih sederhana dalam pengungkapannya, namun tidak kehilangan intensitas perenungan dan pembabakan bagai sebuah drama. Ya, Aziz memang seorang pemain drama. Memang benar banyak hadirin dalam diskusi tersebut menyoal puisi Aziz yang terkesan tidak berbobot, miskin, dan tak terukur capaian kebahasaannya. Tetapi tunggu dulu, apakah sebenarnya yang dihadirkan olehnya? kegamangan! dan wajah siapakah sebenarnya kegamanagan ini, tidakkah ia mirip dengan kepribadian kita? tidakkah ia menghadirkan wajah kita? dan bukankah semua ini karena kita bangsa Indonesia? Sebuah bangsa yang sedang berupaya memperkokoh identitas dan kepribadian melalui kerja keras pemberantasan korupsi, sementara yang lain sibuk menghisap minyak sambil menyematkan hadiah pada ilmuan, sejarahwan, dan presiden penyair kita? Ya, Aziz, kaulah yang tepat karena sederhana dan tidak tunduk pada seruan-seruan ideologi gila, intervensi politik, apalagi belenggu feodal semata.

Didik Wahyudi
Rabo Sore, 2008.
Disampaikan dalam temu sastra Jatim 2008

MENUJU SASTRA INDONESIA YANG MERDEKA

MENUJU SASTRA INDONESIA YANG MERDEKA
Abdul Mukhid*)

Saya sempat tercenung ketika panitia pertemuan kita ini menyodorkan tema "Mempersoalkan Ideologi Sastra". Berbagai macam pertanyaan berkecamuk di dalam benak saya: "Apakah ada yang disebut `ideologi sastra'? Apakah sastra harus berideologi? Mungkinkah sastra menjadi sebuah ideologi? Apakah saya harus mempersoalkan ideologi terlebih dahulu ketika hendak membaca/menulis karya sastra?" Dan sekian banyak rentetan pertanyaan lagi, yang bahkan mungkin tidak akan selesai kita bahas sehari semalam, pertanyaan yang paling mengusik saya adalah justru "kenapa kita perlu mempersoalkan ideologi dalam sastra"? Ketika menulis dan membaca (karya) sastra, saya tidak merasa perlu menyiapkan perangkat ideologi tertentu di benak saya. Tapi argumen saya itu serta merta terbantahkan dengan sendirinya ketika teringat momen Hari Kemerdekaan. Saya jadi ingat bahwa sastra Indonesia modern (istilah ini sendiri agak rancu bagi saya) tidak bisa dilepaskan begitu saja dari persoalan ideologi. Hal ini secara langsung maupun tidak langsung dipengaruhi oleh perkembangannya, dalam kurun waktu yang masih begitu muda dibandingkan khazanah sastra lain di dunia ini. Untuk itu saya akan berangkat membahas masalah ideologi ini dari perspektif perkembangan dan sejarahnya.



Sastra dan Ideologi dalam Bingkai Sejarah
Secara umum bisa kita katakan bahwa pada awalnya sastra Indonesia modern banyak diwarnai dengan ideologi nasionalisme. Ini tidaklah mengejutkan karena kelahiran bahasa Indonesia sendiri juga dipicu oleh semangat nasionalisme dan persatuan. Dengan semangat tersebut, STA menempatkan sastra sebagai semacam perintis pembaharuan. Namun di kubu lain, sebagian sastrawan justru menganggap sastra tidak memiliki kekuatan apa-apa untuk melakukan perubahan. Perdebatan ini akhirnya mengerucut pada era 60-an berupa perdebatan ideologi "humanisme universal" versus "realisme sosial", yang di dalamnya juga diwarnai berbagai nuansa politis.
Pada masa orde baru, sempat pula muncul perdebatan tentang "sastra kontekstual". Namun dalam praktiknya, lebih banyak muncul elitisme sastra. Sastra seolah hanya dimiliki oleh para sastrawan mapan yang banyak jaringan di media maupun relasi-relasi di ibukota. Sempat pula muncul semacam "perlawanan" dengan hadirnya kelompok Revitalisasi Sastra Pedalaman (RSP). Tapi gerakan ini akhirnya tenggelam, bahkan sebagian orang mencurigai gerakan ini tak lebih dari upaya politis mempopulerkan diri sendiri.
Pada masa reformasi dan pasca reformasi, timbul berbagai perubahan baru, apalagi dengan mulai maraknya teknologi digital. Diantaranya adalah munculnya gerakan sastra cyber. Pada mulanya sastra cyber ini dipandang sebelah mata, tapi belakangan banyak sastrawan dan lembaga kebudayaan yang memanfaatkan kemajuan teknologi internet ini. Selain itu, ruang pluralisme juga terbuka lebar. Berbagai isu dan gerakan sastra berkembang, mulai eksploitasi seks, feminisme, buruh migrant sampai teologi pembebasan. Di sisi lain, lahir pula "ideologi profit" yang melahirkan teenlit dan chicklit.

Menuju Sastra Merdeka
Menilik sejarah sekilas—dan sama sekali tidak komprehensif, tentunya—yang saya paparkan di atas, secara umum saya membagi "ideologi" para pelaku sastra (catat: bukan sastranya!) kita menjadi dua kutub besar. Kutub pertama, adalah mereka yang menolak sastra mengabdi pada ideologi di luar dirinya. Mereka ini menganggap sastra "terlalu mulia" untuk tunduk di bawah ideologi apa pun. Konon golongan ini yang dulu kita sebut bersemboyan "seni untuk seni". Kutub kedua, adalah mereka yang menganggap bahwa sastra bisa membawa perubahan, bahwa sastra mau tidak mau harus menjadi cerminan masyarakatnya. Menurut mereka sastra tidak boleh "narsis" dan sastrawannya tidak boleh tinggal di menara gading. Semboyan mereka adalah "seni untuk masyarakat." Yang satu ini berkembang pesat pada era 60-an.
Kalau kita cermati, sebenarnya kedua ideologi tersebut sama-sama tidak "berwajah Indonesia". Kutub pertama banyak dipengaruhi ide-ide Barat, dan kelompok kedua banyak diilhami ideologi Marxis. Inilah yang saya maksud kita tidak merdeka. Bahkan kemudian belakangan kita juga menjadi "pengekor" ideologi feminisme, demokrasi dan seterusnya. Menurut hemat saya, kita harus mulai menggali akar "keindonesiaan" sastra kita. Sebagaimana kita mafhum, bahkan dalam konsep estetika sastra kita masih selalu mengekor ke Barat. Sudah waktunya kita menggali kekayaan sastra kita sendiri. Sastra kita sebenarnya lebih berjalan "di tengah", tidak ke Timur dan tidak ke Barat. Tengoklah kekayaan sastra daerah, yang memiliki citarasa estetika tersendiri sekaligus bisa mengakar di tengah masyarakat, dan baik sadar maupun tidak bisa menjadi cerminan sekaligus pembawa perubahan masyarakat. Mungkin ini serasa mudah ditulis atau dikatakan, tapi saya tahu ini tidak mudah diwujudkan. Setidaknya marilah kita mencoba dengan "memerdekakan" pikiran kita, dan menuju sastra Indonesia yang betul-betul merdeka!

Bengkel ImajiNasi
Malang, 19 Agustus 2008

Disampaikan dalam Temu Sastra Jatim 23 Agustus 2006