Monday, September 8, 2008

Dari Hitam Afrika Hingga ke Rumah Pasir

Dari Hitam Afrika Hingga ke Rumah Pasir
Terceritalah, dalam forum Majelis Sastra Asia Tenggara beberapa tahun silam, salah satu peserta mengajukan sebuah buku sebagai bahan diskusi. Buku sederhana tersebut diberi judul Wanita Yang Kencing di Semak. Dalam pengantar buku tersebut, penyairnya bercerita tentang bagaimana ia mulai berkenalan dan menulis puisi. Nama penyair tersebut HU. Mardiluhung. ia mengaku mendapatkan gairah menulis pertamanya melalui energi yang terpancar dalam buku O, Amuk, Kapak karya Sutardji. memang senyampang lalu pesona kekuatan mistik terasa benar dalam buku Wnita Yang Kencing di Semak, sebagaimana gairah spiritual Sutardji.
Tahun berlalu dan Mardiluhung pada suatu ketika berkenalan dengan sekelompok anak muda yang baru memulai menulis sajak. Anak-anak muda ini bergabung dalam sebuah komunitas bernama Rabo Sore. Pertemuan mereka berlanjut dalam berbagai diskusi warung kopi dan sajak-sajak Mardiluhung sementara itu mulai sering muncul di media bergengsi terbitan Jakarta. memang kita masih merakan gairah Sutardji dalam sajaknya. Namun ada juga hal lain yang terus tumbuh dalam sajaknya; style. Sajak-sajak Mardiluhung mencuri perhatian bukan karena ia memunculkan gairah magis, namun juga karena ketrampilan linguistik yang kurang ajar dan misterius. Permainan kata dan struktur kalimat yang menampilkan bunyi-bunyian asing itu diracik dengan gaya bahasa yang sama-sekali lain dari penyair lainnya. Dan ada yang bilang sajak-sajaknya bagaikan sebuah laut. Ya, laut yang maha luas, laut yang menyatukan pulau-pulau, menjahit benua-benua, merapatkan tanah kita dengan misteri tanah hitam Afrika, misteri yang selalu resah. Memang, Mardiluhung mengaku ia banyak menyerap permainan gaya bahasanya dari Okot p’ Bitek, mantan pesepak bola yang lantas menjadi penyair Uganda.
Buku Okot p’ Bitek Afrika yang Resah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh YOI, sekitar tahun 70-an. Buku ini berisi dua bagian besar, yaitu Nyanyian Lawino dan Nyanyian Ocol yang merupakan sikap kritik terhadap modernisme dan pertikaian politik di Uganda. Memanglah keadaan politik dan arus perubahan sosial sebuah bangsa adalah hal yang banyak menggugah kesadaran kritik penulis. Maka kita pun mengenal banyak penulis Indonesia yang juga menjadikan peristiwa politik dan sosial sebagai gagasan karya kreatifnya. di Indonesia barangkali hal tersebut bgitu terasa terutama sekali sampai akhir dasawarsa 70-an. dalam masa itu banyak monumen dihasilkan oleh penulis kita. Namun saya kira tidak semua penulis bisa menyerap peristiwa politik dan sosial sebagai sebuah bahan karya sastra, apalagi bila tuntutannya adalah sebuah karya bermutu. Nyanyian Lawino dan Nyanyian Ocol bisa saja dibaca dan dijadikan inspirasi oleh penulis lain, namun tanpa kesadaran untuk tetap tunduk pada kaidah-kaidah satra, hanya akan menjadi sebuah jargon yang jauh dari harapan sebuah karya sastra yang bermutu.
***
Pada penghujung abad 20, Jawa Timur diramaikan oleh sebuah gerakan sastra yang turunan dari gerakan tersebut masih dapat kita rasakan hingga hari ini. Gerakan ini mengusung mahdzab kegelapan, yang oleh Nirwan Dewanto dalam pengantar buku puisi Lima Pusaran, FSS 2007 diistilahkan dengan “kocokan maut kata-kata”. Gerakan ini lantas melahirkan beberapa penyair Jawa Timur ke pentas perpuisian nasional seperti W. Haryanto, Indra Tjahyadi, dan Mashuri. Yang disebut terakhir juga membawa semangat religius dan masih terbilang aktif mengisi lembar-lembar sastra di media terhormat terbitan Jakarta. Bahkan pada 2007 lalu nama Mashuri kian bergaung di dunia kepenulisan kita dengan memenangi lomba penulisan novel Dewan Kesenian Jakarta. Sementara itu W. Haryanto beberapa tahun lalu, ketika itu memegang komite Sastra Dewan Kesenian Jawa Timur, telah menerbitkan sebuah kumpulan puisi dari sembilan penyair Jawa Timur, berjudul Kepada Mereka Yang Mengaku Dekat Dengan Tuhan – Antologi Penyair Mutakhir Jawa Timur.
Peluncuran buku Penyair Mutakhir Jawa Timur yang disertai dengan diskusi kreatif ini mengundang banyak perhatian masyarakat sastra Jawa Timur, terbukti dengan banyaknya peserta diskusi peluncuran buku tersebut. Namun kehadiran buku tersebut juga memunculkan celah kritik dari banyak kalangan. Maka baik secara terbuka ataupun melalui dunia maya, buku ini memantik diskusi yang barangkali menarik, barangkali juga menjemukan. Menarik karena memang upaya dari W. Haryanto untuk mempertarungkan selera estetika sembilan penyair Jawa Timur tersebut dengan salah satu kutub kesusastraan di Indonesia dan menjemukan karena pertikaian tersebut dapat saja bergeser ke arah yang kurang sehat dengan membawa-bawa politik kesenian di dalamnya.
***
Pada bulan Juni lalu Yayasan Seni Surabaya kembali menggelar event tahunan mereka, Festival Seni Surabaya. Dan tahun ini, di bidang sastra dengan Ribut Wijoto selaku Program Officer menerbitkan sebuah buku puisi dari lima orang penyair Jawa Timur yang telah terlebih dahulu diseleksi dan lantas dipilih oleh Arif. B. Prasetyo selaku kurator bidang sastra. Mereka antara lain, Denny, Indra Tjahyadi, F Aziz Manna, A Mutaqin, dan, ah, nama ini lagi, Mashuri. Buku tersebut diberi judul Rumah Pasir, diambil dari judul salah satu sajak yang ada dalam kumpulan tersebut. Tema yang diusung festival adalah 100 Tahun Kebangkitan Nasional, A Tribute To Surabaya. Dan dalam ulasan kuratorialnya, Arif menulis bahwa tema festival tersebut adalah salah satu bagian dari konstruksi kuratorialnya, yaitu Surabaya.
Denny, Indra, dan Mashuri menurut Arif adalah penyair yang membawa Mahdzab kegelapan sebagaimana dulu telah mereka mulai bersama dari sebuah komunitas kreatif di kampusnya. Sedangkan A Mutaqin dan Aziz dalam anggapan Arif adalah generasi baru yang seakan ingin mengkoreksi identitas/eksistensi kepenyairan Jawa Timur, meskipun faktanya, A Mutaqin menyangkanya dan lebih merasa bahwa ia ingin mengkoreksi dirinya sendiri. Dan ketika buku tersebut didiskusikan, tak kurang beberapa tokoh yang telah dikenal masyarakat sebagai simbol kepenulisan Jawa Timur hadir dan ikut terlibat dalam diskusi, termasuk D. Zawawi Imron. Penyair yang menggali spirit kehidupan melalui pohon, buah, dan daun-daun siwalan tersebut terlihat berbahagia. Dia bilang, kehadiran lima penyair Jawa timur dalam FSS kali ini adalah sebuah tanda bahwa ada proses regenerasi penyair di Jawa Timur. Meskipun begitu, Arif mengatakan bahwa gaya simbolik yang digarap A Mutaqin telah malampaui capaian D. Zawawi Imron dan soal kota, dari kelima penyair tersebut hanya F Aziz Manna yang secara tegas berbicara mengenainya.
Penyair lain mungkin juga pernah berbicara tentang kota dengan berbagai sudut pandang dan gaya, kita ingat misalnya, “di kota itu kata orang gerimis telah jadi logam....” atau “kota-kota penuh obat dan api” dll. F Aziz Manna beda. Ia lebih sederhana dalam pengungkapannya, namun tidak kehilangan intensitas perenungan dan pembabakan bagai sebuah drama. Ya, Aziz memang seorang pemain drama. Memang benar banyak hadirin dalam diskusi tersebut menyoal puisi Aziz yang terkesan tidak berbobot, miskin, dan tak terukur capaian kebahasaannya. Tetapi tunggu dulu, apakah sebenarnya yang dihadirkan olehnya? kegamangan! dan wajah siapakah sebenarnya kegamanagan ini, tidakkah ia mirip dengan kepribadian kita? tidakkah ia menghadirkan wajah kita? dan bukankah semua ini karena kita bangsa Indonesia? Sebuah bangsa yang sedang berupaya memperkokoh identitas dan kepribadian melalui kerja keras pemberantasan korupsi, sementara yang lain sibuk menghisap minyak sambil menyematkan hadiah pada ilmuan, sejarahwan, dan presiden penyair kita? Ya, Aziz, kaulah yang tepat karena sederhana dan tidak tunduk pada seruan-seruan ideologi gila, intervensi politik, apalagi belenggu feodal semata.

Didik Wahyudi
Rabo Sore, 2008.
Disampaikan dalam temu sastra Jatim 2008

No comments: