Monday, September 8, 2008

MENUJU SASTRA INDONESIA YANG MERDEKA

MENUJU SASTRA INDONESIA YANG MERDEKA
Abdul Mukhid*)

Saya sempat tercenung ketika panitia pertemuan kita ini menyodorkan tema "Mempersoalkan Ideologi Sastra". Berbagai macam pertanyaan berkecamuk di dalam benak saya: "Apakah ada yang disebut `ideologi sastra'? Apakah sastra harus berideologi? Mungkinkah sastra menjadi sebuah ideologi? Apakah saya harus mempersoalkan ideologi terlebih dahulu ketika hendak membaca/menulis karya sastra?" Dan sekian banyak rentetan pertanyaan lagi, yang bahkan mungkin tidak akan selesai kita bahas sehari semalam, pertanyaan yang paling mengusik saya adalah justru "kenapa kita perlu mempersoalkan ideologi dalam sastra"? Ketika menulis dan membaca (karya) sastra, saya tidak merasa perlu menyiapkan perangkat ideologi tertentu di benak saya. Tapi argumen saya itu serta merta terbantahkan dengan sendirinya ketika teringat momen Hari Kemerdekaan. Saya jadi ingat bahwa sastra Indonesia modern (istilah ini sendiri agak rancu bagi saya) tidak bisa dilepaskan begitu saja dari persoalan ideologi. Hal ini secara langsung maupun tidak langsung dipengaruhi oleh perkembangannya, dalam kurun waktu yang masih begitu muda dibandingkan khazanah sastra lain di dunia ini. Untuk itu saya akan berangkat membahas masalah ideologi ini dari perspektif perkembangan dan sejarahnya.



Sastra dan Ideologi dalam Bingkai Sejarah
Secara umum bisa kita katakan bahwa pada awalnya sastra Indonesia modern banyak diwarnai dengan ideologi nasionalisme. Ini tidaklah mengejutkan karena kelahiran bahasa Indonesia sendiri juga dipicu oleh semangat nasionalisme dan persatuan. Dengan semangat tersebut, STA menempatkan sastra sebagai semacam perintis pembaharuan. Namun di kubu lain, sebagian sastrawan justru menganggap sastra tidak memiliki kekuatan apa-apa untuk melakukan perubahan. Perdebatan ini akhirnya mengerucut pada era 60-an berupa perdebatan ideologi "humanisme universal" versus "realisme sosial", yang di dalamnya juga diwarnai berbagai nuansa politis.
Pada masa orde baru, sempat pula muncul perdebatan tentang "sastra kontekstual". Namun dalam praktiknya, lebih banyak muncul elitisme sastra. Sastra seolah hanya dimiliki oleh para sastrawan mapan yang banyak jaringan di media maupun relasi-relasi di ibukota. Sempat pula muncul semacam "perlawanan" dengan hadirnya kelompok Revitalisasi Sastra Pedalaman (RSP). Tapi gerakan ini akhirnya tenggelam, bahkan sebagian orang mencurigai gerakan ini tak lebih dari upaya politis mempopulerkan diri sendiri.
Pada masa reformasi dan pasca reformasi, timbul berbagai perubahan baru, apalagi dengan mulai maraknya teknologi digital. Diantaranya adalah munculnya gerakan sastra cyber. Pada mulanya sastra cyber ini dipandang sebelah mata, tapi belakangan banyak sastrawan dan lembaga kebudayaan yang memanfaatkan kemajuan teknologi internet ini. Selain itu, ruang pluralisme juga terbuka lebar. Berbagai isu dan gerakan sastra berkembang, mulai eksploitasi seks, feminisme, buruh migrant sampai teologi pembebasan. Di sisi lain, lahir pula "ideologi profit" yang melahirkan teenlit dan chicklit.

Menuju Sastra Merdeka
Menilik sejarah sekilas—dan sama sekali tidak komprehensif, tentunya—yang saya paparkan di atas, secara umum saya membagi "ideologi" para pelaku sastra (catat: bukan sastranya!) kita menjadi dua kutub besar. Kutub pertama, adalah mereka yang menolak sastra mengabdi pada ideologi di luar dirinya. Mereka ini menganggap sastra "terlalu mulia" untuk tunduk di bawah ideologi apa pun. Konon golongan ini yang dulu kita sebut bersemboyan "seni untuk seni". Kutub kedua, adalah mereka yang menganggap bahwa sastra bisa membawa perubahan, bahwa sastra mau tidak mau harus menjadi cerminan masyarakatnya. Menurut mereka sastra tidak boleh "narsis" dan sastrawannya tidak boleh tinggal di menara gading. Semboyan mereka adalah "seni untuk masyarakat." Yang satu ini berkembang pesat pada era 60-an.
Kalau kita cermati, sebenarnya kedua ideologi tersebut sama-sama tidak "berwajah Indonesia". Kutub pertama banyak dipengaruhi ide-ide Barat, dan kelompok kedua banyak diilhami ideologi Marxis. Inilah yang saya maksud kita tidak merdeka. Bahkan kemudian belakangan kita juga menjadi "pengekor" ideologi feminisme, demokrasi dan seterusnya. Menurut hemat saya, kita harus mulai menggali akar "keindonesiaan" sastra kita. Sebagaimana kita mafhum, bahkan dalam konsep estetika sastra kita masih selalu mengekor ke Barat. Sudah waktunya kita menggali kekayaan sastra kita sendiri. Sastra kita sebenarnya lebih berjalan "di tengah", tidak ke Timur dan tidak ke Barat. Tengoklah kekayaan sastra daerah, yang memiliki citarasa estetika tersendiri sekaligus bisa mengakar di tengah masyarakat, dan baik sadar maupun tidak bisa menjadi cerminan sekaligus pembawa perubahan masyarakat. Mungkin ini serasa mudah ditulis atau dikatakan, tapi saya tahu ini tidak mudah diwujudkan. Setidaknya marilah kita mencoba dengan "memerdekakan" pikiran kita, dan menuju sastra Indonesia yang betul-betul merdeka!

Bengkel ImajiNasi
Malang, 19 Agustus 2008

Disampaikan dalam Temu Sastra Jatim 23 Agustus 2006

1 comment:

Si Pemimpi said...

wah, cak mukhid rek, mewakili bengkel. asyik cak. kenapa para panitia makai tema ideologis sastra itu cak? apa di jawa timur sendiri para penyair/prosais sedang galau urusan ideologi? saya sih setuju sama sampean cak, aku gak merasa perlu mengusung ideologi apapun, dalam artian aku gak membatasi diri, kalo memang ada impuls yang sangat kuat sehingga aku harus menulis tentang sesuatu, ya itulah yang seketika menjadi "semacam ideologi" itu. ...